Jumat, 03 Juni 2011

tak kudapati judul dalam kabut ini

senyumku tertahan dari sungging wajahmu, tak bisa lepas, wajahmu lindap tak utuh seperti dalam foto yang kupandang.

kau tahu,
padahal hatiku gatal sekali ingin memeluk tapi sebentuk angin yang dinginnya seperti ujung runcing jarum menusuk setiap poripori hingga dua lenganku yang tulus bertemu di depan dada hanya menemu kosong dipeluknya.

itulah selalu yang terasa di tiap tiap,
ya di tiap-tiap mendung menyergap kaget sekujur tubuh hingga tak nampak lagi seperti apa aku melainkan hanya kabut, dan sesekali kau lihat tanganku menggapaigapai, mencakar-cakar angin, putus asa.

lalu yang engkau pasti tak tahu,
bilakah itu berakhir dalam kepahitan, adalah belas kasihan pohonpohon yang tersayat kulit batang pohonnya dan layu dedaunnya menitik air melihatku meregang nafas yang megap seperti orang yang tenggelam baru belajar berenang dan bertahan pada nafas satusatunya yang tinggal di tenggorokan rapuh yang seperti ranting kering tua yang tak dipilih capung untuk bertengger karena takut terjatuh, rela memberi jalan bagi mentari mencairkan segala selimut kesumat kabut.

berangsur mentari menembus kabut, bulirbulir air berkaburan sembunyi di sela akar, tak bisa lagi pohonpohon dan mentari menolongku melainkan hanya membiarkan pandangnya yang nanar menuju aku yang terkulai dalam kaki tegap dan hati yang berombak, sementara senyummu pergi bersama kabut dibalik bukit yang biru dan damai penuh hijau, dan rasa gatal yang makin berkarat luruh menyerpih di harihariku sendiri.


Manado, 29 Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar