Kamis, 07 April 2011

satu babak

kau ..
ketahuilah
bukan hilangnya juga perginya engkau
yang kutakutkan akan mengutukku dalam keresahan
tapi hati yang padam apinya
setelah panasnya membara disetiap nadi
karena kau hanyalah mitos yang kuyakini kebenarannya

masihkah engkau mengingatnya
ketika kau bertanya tentang sebuah kejujuran
ternyata engkau kaget dengan kejujuran itu sendiri
walaupun aku tidak memahami
sungguh benarkah engkau kaget
atau kau berpura-pura kaget

tapi aku menangisinya
sejadi jadinya menyadari akan kejujuran itu
bukan karena ingkar adanya
tapi karena bahagia
seperti kering yang merindu hujan
basah dan menyegarkan

lalu ku nyanyikan lagu tentang bunga ditamanku
yang menjadi mozaik dari cermin
disitu kuajak engkau bercermin
akan bagaimanakah wajah wajah kita kini
akankah cermin memantulkan isyarat .. iya
bahwa engkau dan aku tersimpan dalam cermin itu

mentari bagai tersedot magnet dan pagi tak berani beranjak
bunga bunga memekar kupu kupu riang beterbangan
pelangi mengikat itu semua
... mengapa?
karena semua takjub pada hati yang membara
...rupanya?... mitos itu berulang
hanya saja kini lakon lakonnya berada di panggung yang sama

definisi definisi meminta diurai
apakah cinta
apakah gairah
apakah emosi
tak satupun kamus menunjukkan
hati menjadi vocabuler tak lebih

itulah kejamnya definisi
dia tak lebih dari vocabuler pemikiran
cerita dan mitos pengantar tidur
karena tak sedikitpun isyarat cermin
menyama apa yang di benakmu
sementara cermin itu terlanjur kupecahkan demi mencari jawab

lalu kerinduan tiba tiba menyerang
dari segenap sudut sudut yang telah menunggu dengan sembunyi
dengan tombak dan panahnya
menyerang menerobos satu tombak di dadaku
dua anak panah menancap tepat di mata yang hitam
satu tombak lagi terpaku di rusuk
..menangis ? ... tidak ! karena airnya telah larut di darah

tak satupun isyarat mentari nampak
atau juga hitamnya malam memberi petunjuk
kemana engkau berada
mengapa engkau tiada
kala aku terkapar waktu itu
hanya bisikan jangkrik yang mengeruk lubang sembunyinya
berkata “engkau akan tahu”

aku pun terbang meninggalkan jasad terkapar
ruh ku tetap melayang bebas merdeka
kususuri lagi medan perang
kusadari semua telah kalah

lalu melesat lagi berendam di pancuran mentari
agar dibakar musnah segala luka
panasnya mengajak untuk segera
ceburkan di palung terdalam
yang dinginnya mampu menenangkan
galaknya jilatan mentari

demikianlah kutemukan mutiara
dari tetes air mata yang disarikan dari darah
jika saja tangis bahagia bisa dituliskan dengan lugas
tentu sumpah yang akan menjadi serapah .. tidak diperlukan lagi

kini kau
telah menjadi mutiara
kujadikan bola mata bagi jasadku
namun aku telah terbebas dari raga
melayang merdeka mengitari bumiku sendiri
menjaga angsa angsa putih yang berenang
di danau dipunggung gunung yang biru


Manado, 9 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar